ORANG TUA dan KELUARGA

Tentang Orang Tua :

Ibu dan Bapak ku, 
Symbol serta Sumber dari segala hal dalam kehidupan ku. 


Aku adalah robot buatan ibu bapak ku yang kuat dalam segala medan pertempuran. Ya, aku seorang anak tengah, perempuan satu-satunya yang dimiliki orang tuaku. Dan aku terdidik sangat hebat hingga tak seorang pun bisa menghancurkan mental ku, sekuat apapun mereka mencoba. Karena sejak kecil, aku terbiasa mandiri dan otodidak atas apapun yang aku lakukan. Bisa dibilang, aku itu tipe pejuang seperti bapak ku.

Bapak ku adalah pria hebat yang lebih dari sekedar bapak bagi kehidupan ku. Beliau memiliki banyak hal luar biasa dalam mendidik ku, dan selalu istimewa di hatiku. Ya, karena cinta pertama dan selamanya untuk ku adalah bapak ku. Meskipun beliau tidak lulus sekolah dasar, tidak menapaki pendidikan lebih jauh, tapi pengalaman hidupnya membuat beliau lebih dari orang berpendidikan dalam segala hal.

Beliau hanya seorang peternak kerbau, dimulai dari diberi almarhum kakung ku satu kerbau, dan juga ternak milik orang lain dengan sistem bagi hasil, usaha tersebut ditekuni beliau hingga terus berkembang biak. Dari hasil kerbau tersebut bahkan bisa menyekolahkan adik nya, aku kakak ku serta adik ku hingga jenjang sarjana. Sekalipun kakak ku hanya lulus sekolah dasar, dia pun tidak kalah istimewa seperti bapak, nanti sedikit ku ceritakan tentangnya.

Kehidupan keluarga kami sangat sederhana, berada di sebuah kampung di kota kecil ujung selatan Jawa Timur, yaitu Pacitan. Menjelang pagi sebelum adzan subuh, bapak ku pasti sudah persiapan segala perlengkapan untuk berangkat bekerja. Kerjaan beliau bukan kantoran, bukan pakaian rapi atau bersih, tapi kerjaannya membajak lahan persawahan milik orang lain dengan kerbaunya. Dan sepagi itu pun ibu ku sudah siap membuatkan bekal bapak memakai bungkus daun jati, serta botol minum hijau army khas militer yang dimiliki beliau dari adik nya. Walau bayaran nya sedikit, tapi segala kerja keras beliau sangat menghidupi keluarga kami.

Ibu tidak bekerja? Tentu saja, ibu ku pun pekerja keras. Dibantu ibu yang bekerja sejak tahun 1995 di konveksi batik milik budhe (kakak perempuan bapak ku), namanya "Batik Saji Pacitan". Tiap pagi sebelum ibu berangkat kerja, kami sekeluarga selalu dibuatkan minuman sesuai selera masing-masing dan sarapan yang enak olahan beliau.

Hal yang selalu aku ingat, sepulang membajak sawah, bapak selalu penuh dengan lumpur sawah. Sedangkan ibu, baju serta tangannya penuh tinta karena proses mewarnai batik. Mereka adalah contoh luar biasa untuk ku.

Oiya, sejak TK aku bukan anak manja yang harus ditunggu oleh orang tua selayaknya anak kecil pada umumnya massa itu. Sering kali aku melihat anak-anak lain ditunggu ibunya, tapi aku tidak iri atau sedih, justru merasa mental ku ditempa sangat kokoh.

Tiap pergi ke sekolah aku jalan kaki bersama kakak ku, digandeng, dibawain bekal dan uang saku koin Rp 5,-. Kalau balik dari sekolah TK, aku selalu jalan kaki sendiri, karena kakak ku belum selesai pelajaran nya di sekolah SD. Perjalanan ke rumah ku, melewati jalan yang gelap penuh rimbunan pohon, masyarakat menyebutnya "leboh suwung" (semacam hutan kecil tanpa penghuni, sepi, gelap, penuh belukar dan terkenal angker). Terkadang aku juga melewati pinggiran pematang sawah, karena rumah orang tua ku pinggir persawahan. Bisa dibilang, bocah perempuan kecil ini tidak pernah memiliki rasa takut sedikitpun, bisa dibilang makhluk halus malahan yang takut sama aku hahaha.

Dan sejak TK itu pula, aku ikut sekolah sore (Madrasah Ibtida'iyah), semacam sekolah ilmu agama yang mempelajari berbagai macam ilmu seperti tauhid, tajwid, fiqih dan lainnya. Pakaiannya muslim, dan orang tuaku selalu memberikan uang saku karena disana ada kantin nya. Aku pun sekolah sore sendirian, melewati pematang sawah sama seperti balik dari sekolah TK, tanpa diantar siapapun. Sekolah ini aku selesaikan hingga lulus, dari tahun 1993 sampai 1999 (selama 6 tahun).

Dan kalian tahu gak? Selain aktivitas sekolah sore, aku juga paling sering diajak bapak kondangan ke acara nikahan maupun sunatan, mewakili ibu yang saat itu masih mengurus adik ku yang bayi. Dibonceng naik sepeda onta, kaki ku ditali jarik (kain batik). Biasanya, kami berangkat sehabis ashar atau sehabis maghrib kalau bapak udah selesai kerja. Dan yang aku suka, pulang kondangan dapat berkat (nasi, sayur, lauk bungkus daun jati) dan beberapa snack.

Pernah waktu itu kondangan, kami pulang pas maghrib, melewati jembatan gelap sepi sunyi angker, banyak rimbunan pohon bambu, dibawahnya sungai arus deras dan pas juga hujan deras. Berasa mistis semakin kuat vibrasinya haha. Tiba-tiba, aku merasakan sepeda itu roda nya terasa muter ke belakang, jadi ga maju ke depan, berasa stuck ditempat. Seketika aku hanya diam, basah kuyup, menunduk sambil berdoa, sambil menghela nafas eh gak sengaja lihat sebelah kiri di rimbunan bambu, refleks bilang "Pak, kui kok ono garongan gondrong, awake gede, rupane elek", bapak ku spontan bilang "Yen dilok opo wae pas surup opo pas nandi wae, balangen boto". Bapak langsung menoleh ke arah kiri sambil teriak "Raksah ganggu anak ku". Dan kami pun akhirnya meneruskan perjalanan ke rumah.

Ya, sejak usia 3,5 tahun, aku merasa banyak hal aneh yang tidak bisa dijelaskan. Dulu, aku pernah diajak main tetanggaku di irigasi dekat rumah pas adzan dzuhur. Aku di dorong, kepala ku diinjak di dalam aliran air irigasi berulang-ulang. Spontan ketika di dalam air, mata ku terbuka dan melihat wajah jelek serta hal-hal yang menyeramkan sekali. Aku pun teriak, mulut kemasukan air sampai terasa engap. Dan ketika dilepaskan, aku langsung lari, nangis sekeras-kerasnya memanggil ibu ku. Sejak kejadian itu, aku memiliki trauma terhadap air yang mengalir deras. Jadi di otak itu, entah melihat air terjun, lautan, danau, air apapun yang aliran nya deras itu menakutkan, pikiran ku flashback ke peristiwa massa kecil itu. 

Menginjak masuk sekolah dasar, jujur aku tidak tertarik, dan tidak bahagia lulus dari TK. Kenapa? Alasannya karena aku takut tidak bisa membaca dan menulis. Hingga ada kejadian lucu ketika aku digandeng ibu buat pendaftaran siswa/siswi baru, aku menangis gero-gero golong koming (keras plus teriak dan bergelimpangan di tanah) 🤣. Yaaa, bisa dibilang aku itu suka otodidak segala hal dari kecil, jadi semacam aku tidak suka diajari karena aku sendiri bisa mempelajari. Maklum masih kecil itu independent banget buat apapun. 

Pertama kali sekolah kelas 1 SD, aku memulai dengan keributan, yaitu membuat nangis anak orang. Masalahnya karena ada yang merebut bangku yang sudah ku pilih dan ku duduki lebih dulu. Jadi aku beneran fight gak mau ngalah. Dan di sekolah dasar itu sekalipun aku perempuan ya aku fight. Begitupun dengan prestasi di sekolah dasar, aku selalu masuk ke dalam ranking 5 besar siswa/siswi sejak kelas 1 sampai lulus. Kadang ranking 5,4,3,2,1 dan paling konsisten sering sih ranking 2 hahaha. 

Setiap penerimaan rapor, almarhum kakung ku selalu mengambilkan rapor kami. Ya kadang ibu ku minta tolong ke yang lain, karena bapak ibu ku tidak sempat untuk itu. Beliau harus bekerja keras untuk membiayai kami, anak-anaknya. Dan ketika aku kelas 2 SD, adik ku masuk TK, jadi kalau berangkat sekolah, kami bertiga bersama bergandengan tangan ke sekolah jalan kaki. Bangku sekolah dasar ku lewati dengan banyak cerita serta kejahilan ku.

Lulus sekolah dasar, aku yang notabennya anak kampung, diam-diam ikut seleksi masuk sekolah negeri favorit di Pacitan, yaitu SMP Negeri 1 Pacitan dengan modal nekat, tanpa mikir nanti biaya nya bagaimana. Ya, masuk sekolah favorit di massa itu sangat sulit, harus bersaing otak, mengikuti tes dengan anak-anak kota dan dari kabupaten serta kecamatan lain yang begitu banyak serta biaya mahal. Aku mendaftar tanpa memberi tahu orang tua ku.

Hingga akhirnya ketika tiba pengumuman , ku buka selembar kertas hvs bertuliskan "LOLOS" beserta kelas yang nanti akan jadi tempat ku belajar. Aku pun sangat senang, menangis, langsung bergegas ke tempat kerjaan ibu, mengayuh sepeda mini jengki phoenix biru untuk memberitahu ibu. Ketika itu, ibu masih bekerja dengan baju dan tangan penuh tinta. Ku berikan selebaran itu, dan kami pun menangis. Karena sebelumnya, orang tua ku berkata " Awakmu ki mung cah ndeso, saingane cah-cah kutho, ora mampu, wes daftar SMP 2 po SMP 3 wae mbak". Dan aku membuktikan nya bahwa aku bisa. Seingat itu aku tentang hal-hal detail yang tersimpan di memori ku.

Sepeda mini phoenix ku adalah tongkat ku, ya walaupun sepeda bekas yang hanya mampu dibelikan ibu ku ketika lulus sekolah dasar, tapi aku selalu besyukur, karena sepeda tanpa boncengan belakang itu jadi barang terpenting dalam menuntut ilmu.

Tahun 2004, ibu ku berpindah kerjaan dari yang biasanya di bagian produksi batik, pindah ke kios konveksi yang berada di Pasar Arjowinangun, Pacitan. Ya, ibu ku dipercaya untuk ikut dipasar menjual kain meteran bahan seragam, tile, furing, pakaian, batik tulis, batik cap dan aneka batik dari produksinya budhe. Kalau ditanya tentang jiwa, skill dagang serta marketing nya, itu sangat luar biasa. Bahkan bisa dibilang, beliau itu guru terbaik ku sepanjang massa.

Masuk SMA pun ceritanya sama seperti masuk SMP, bapak mau aku di SMEA eh aku malah diam-diam ikut seleksi SMA 271 Pacitan (SMA Negeri 1 Pacitan). Orang tua ku khawatir aku tidak bakal tembus seleksi karena itu sekolah favorit dan biaya juga mahal, isinya anak-anak orang kaya. Tapi akhirnya, aku pun memilih mengikuti seleksi 2 sekolah, SMA Negeri 271 Pacitan dan SMEA Negeri 1 Pacitan. Ketika pengumuman, eeeh dua-duanya pun lolos seleksi 😂. Bahkan ibu ku tidak menyangka, dan langsung memberi tahu bapak kalau aku memutuskan memilih pilihan pertama, SMA N 271 Pacitan. 

Jaman sekolah SMA, aku kalau ke sekolah naik supra fit bekas yang dibelikan bapak dari hasil jual kerbau. Aku belajar naik motor kelas 3 SMP, dan pernah menabrak penjual ikan, sedih tapi untungnya tidak fatal hihiii. Dan aku juga mulai pegang hp waktu kelas 3 SMA, itu pun karena mendekati ujian jadi biasanya banyak tugas, banyak jadwal tes-tes ujian di share lewat hp. Kalau dibilang iri gak sama teman-temannya yang punya fasilitas-fasilitas up to date dari ortu nya, ku jawab lantang "oh tentu TIDAK". Karena apa? Masuk sekolah favorit yang biaya nya luar biasa, saingan nya gak kaleng-kaleng itu membuatku bangga, tidak semua bisa. Dan aku tidak menuntut orang tua ku harus memenuhi segala hal yang aku inginkan. Hei, aku bukan anak manja yang gak sadar diri & tahu diri. 

Orang tua ku membangun mental serta jiwaku sedari kecil sabar, nerimo ing pandum, legowo. Bukan ngelunjak ingin ini itu harus keturutan, kalau ada barang yang memang dibutuhkan, orang tua ku mengajarkan ku untuk sabar "ngumpulin uang", dan itu real dibelikan. Pokoknya apapun untuk anak nya, orang tua itu sangat memikirkannya. Bahkan kuliah di Solo pun, aku memilih naik bus daripada travel sebelum supra fit itu kubawa.

Tentang kakak lelaki ku, dia itu hebat sama seperti bapak. Aku pernah satu kelas dengan nya karena dia gak naik kelas sekolah dasar. Ketika ujian apapun, aku selalu berusaha duduk dekat dengannya agar bisa membantu. Ya, siapa lagi yang membantu nya kalau bukan aku sebagai adiknya, karena aku melihat sendiri ketika dia kesusahan, dia terlihat begitu bingung dan resah, tak seorang pun menengok nya apalagi membantu. Bahkan ketika adik ku di bully, aku maju sebagai garda terdepan melindungi serta menjaga nya. Sampai bogem anak orang, giginya patah gusi berdarah, eh sama ortu nya dilaporin ke bapak ku. Kirain aku bakal di strap, ternyata di acung jempol "Anak bapak harus berani jika benar, mengaku jika salah". 

Jadi tahukan tali persaudaraan kandung ku itu seperti apa dengan 2 saudara lelaki ku? Melihat saudara ku kebingungan tidak ada yang bantu, melihat saudara ku di bully fisik dan verbal, hatiku pun merasakan sakitnya bagaimana. Makanya aku dari kecil harus fighting dalam segala hal atas tindakan orang lain yang merugikan. Aku type orang yang tidak akan membiarkan saudara ku kesusahan, disakiti orang lain sekalipun aku sendiri pincang dan butuh dukungan.

Saat kelulusan SD, kakak ku bilang ke ibu jika tidak mau melanjutkan sekolah, karena sadar kemampuan nya terbatas untuk mengikuti kurikulum. Dia hanya ingin adik-adik nya saja yang terus menempuh pendidikan. Lepas dari itu, kalau kami sekolah, sejak masih sekolah SD pun, kakak membantu bapak disawah, kadang menyeberangi sungai sama bapak dan kerbau-kerbaunya, ah pokoknya kakak ku itu hebat dan kuat, aku bangga sangat bangga. Sekalipun aku selalu bertengkar kalau dirumah, aku tidak terima siapapun menyakiti dia dan keluarga nya. Aku sangat menyayanginya. 

Mental ku terbentuk melebihi anak laki-laki. Aku adalah anak yang paling keras dan berontak dibanding saudara kandung ku lainnya kalau sudah mengenai orang tua, saudara kandung dan keluarga. Bapak ku pun tahu, dan ibu ku pun paham, itu sebabnya beliau kadang diam kalau ada yang menyakiti, tapi sayangnya aku tidak bisa dibohongi. Vibrasi sorot mata dan ketikan itu gampang terbaca oleh kasat mata ku.

Aku di dukung orang tua ku dalam segala hal, tapi aku harus berjuang sendirian atas penghidupan. Ya, aku bukan anak yang meneruskan harta benda kekayaan maupun usaha orang tua, bukan yang bikin usaha dimodali orang tua, bukan yang mau apapun pakai uang orang tua, bukan yang punya prinsip milik orang tua milik anak nya, intinya kaki ku harus sanggup menopang kerja keras ku. Karena bagiku, milik orang tua ku bukan milik ku. Kalau ingin mendirikan usaha atau apapun, ya aku harus siap memiliki modal sendiri tanpa sokongan orang tua. Perlu diingat, aku di didik bukan menikmati jerih payah orang tua untuk menjadi pewaris, melainkan terbentuk sebagai perintis.

Ketika sudah bekerja pun, sepelit apa aku untuk orang tua serta keluarga ku? Tanya ibu ku dalam diamnya, pernahkah aku mengungkit tentang apapun itu, menceritakan pemberian ku, apa saja yang ku berikan, memberitahu orang lain untuk apa uang ku mengalir? Tidak, aku bergerak dalam diam. Ya, aku selalu mengusahakan semampu ku untuk orang tua serta keluarga ku, apapun yang ku miliki ada hak keluarga ku disitu, aku ingin mereka tidak kekurangan dan selalu bersyukur atas apapun sekalipun itu sedikit, tidak lebih dari itu. 

Pernah, aku punya uang sisa Rp 100.000,- ku belikan lauk, ku kirim ke rumah tanpa sepengetahuan ibu ku. Kenapa? Ya, karena aku khawatir keluarga ku tidak punya lauk untuk makan, tanpa berfikir aku nanti makan apa, bagaimana. Selagi air kran mengalir, jangan takut kelaparan. 
Bodoh? Tentu saja tidak, memang aku lebih mementingkan bahagianya orang tua serta keluarga daripada kebahagian ku sendiri. Padahal orang tua tidak pernah meminta, selalu menyuruh stop, tapi aku maju terus. 

Karena apa? Semua itu karena rasa cinta sayang peduli ku kepada mereka melebihi diri sendiri. Ibarat kata, aku kelaparan tidak masalah, tapi tidak dengan keluarga ku. Ada perempuan seperti ku? Semoga selalu kuat dan berkah rejekinya. Aku itu merasa balas budi ku itu tidak ada apa-apanya, tidak akan bisa membalas pengorbanan serta perjuangan orang tua yang sepanjang massa.

Terkadang banyak ditemukan tipe anak yang matre serta serakah nya melebihi rasa cinta kasih sayang peduli perhatian kepada orang tuanya. Banyak orang tua dipedulikan ketika harta yang dimiliki masih ada, tapi ketika massa tua untuk merawatnya tidak ada satu pun anak yang mau menjaganya. Sebagai anak perempuan, aku lah yang harus merawat orang tua ku di massa tua.

Banyak saudara kandung tidak rukun karena berbeda ambisi berbeda prinsip berbeda keinginan. Hingga pecah belah tak terkondisi, ambisi nya hanya ngejar harta orang tuanya, ambisi nya mendapatkan lebih banyak warisan, ambisi nya meningkatkan rasa serakah, ambisi nya duniawi hingga mampu melupakan orang tua serta asal usul aslinya.

Pernah ibu ku berkata "Mbak, iki mamam angsal rejeki tapi mbak bagiane sitik dewe nggeh, boten nopo-nopo ta", lantas apakah aku marah sering diberi sedikit? komplain? tidak terima? menjelekkan saudara kandung? Oh jelas saja itu bukan karakter ku. Tahu apa yang ku lakukan? Ku terima rejeki itu, ku ucapkan terimakasih ibu, dan diam-diam ku kembalikan kepada ibu ku dalam bentuk kiriman kebutuhan yang diperlukan ibu ku tanpa konfirmasi dulu. 

Bagiku, aku bisa menuntun ilmu hingga sarjana, itu lebih dari apapun. Aku bukan perempuan rakus, karena prinsip ku harus bisa membahagiakan orang tua, memberikan apapun semampu yang ku miliki dan yang beliau butuhkan.
Jadi tidak ada alasan untuk membenci orang tua ku, karena pemberian kepada ku selalu sedikit dari anak-anak lainnya. Hati ku tak sepicik anak orang lain, yang ditanami dendam iri. Ya, hatiku walaupun keras, tapi terbuat dari welas asih yang hebat.

Misal beras habis apapun habis, ibu ku selalu bilang "yen beras mbak habis ojo mung meneng, mamam kirimi nggeh, pokoke opo sing habis ngomong". Aku? Nggeh. Faktanya, aku tidak pernah minta kiriman atau apapun yang menyusahkan orang tua ku. Kadang aku berfikir, ongkir nya pasti mahal, biaya nya mahal, uang buat beli ini itu kan juga uang ibu ku, pasti berkurang. Dan ketika ibu ku mengirim paketan tanpa sepengetahuan ku, disitu aku membuka nya sambil menangis. Secengeng itu aku. 

Karena itu, kekuatan ku ya orang tua ku, sumber segala hal baik yang mengokohkan pondasi ku hingga saat ini. Di massa terpuruk ku, ibu selalu menguatkan dengan kesabaran. Hingga aku tak tahu lagi, hal apa yang tidak harus ku syukuri, karena aku selalu mensyukuri nya. 

Bagi teman-teman yang memiliki hubungan tidak baik atau kurang baik dengan orang tua, ayo segera kuatkan ikatan itu. Kalian tidak akan rugi kok. Karena seburuk apapun orang tua kalian, beliau tidak akan pernah menjadi bekas darah yang mengalir di nadi serta sungsum kalian. Dan bersyukurlah atas pekerjaan orang tua mu, jangan malu mengakui nya, buang gengsi sejauh mungkim, asal halal dan menghidupi mu, itu jauh lebih baik bagi mu. 

Dan untuk yang nyaman di perantauan, tengoklah orang tua mu, karena beliau pasti rindu. Sedendam apapun sakit hati serta kecewa mu, sembuhkanlah, membumi dan membagi. 

Oke guiiis, segini dulu cerita tentang keluarga sederhana ku, selanjutnya aku akan berbagi cerita tentang banyak hal secara random. Terimakasih sudah membaca & mampir di blog ku ya... 

-Kartika Djatmiko Dikromo ❤️-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULTIMA II

GENGSI dan GAYA HIDUP